Filsafat Jaman Moderen

Filsafat Jaman Moderen
Filsafat Jaman Modern

Jaman modern dimulai dengan masa renaissance yang berarti kelahiran kembali, yaitu usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani-Romawi). Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu ‘antroposentrisme’nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti Jaman Kuno, atau Tuhan seperti Abad Pertengahan, melainkan manusia. Mulai jaman modern inilah manusia yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.

Latar belakang dan implikasi dari Renaissance itu adalah :

a.       Udarnya kekuasaan politik dan kekuasaan spiritual yang mengakibatkan lahirnya cita-cita semangat pembaharuan dan pembebasan.
b.      Berkembangannya jiwa dan semangat individualisme.
c.       Pertentangan (diskusi) antara universalia dan individualia berakhir dengan kemenangan individualia.Akibat-akibat yang timbul (implikasi) :
-          Orang/warga masyarakat tidak lagi menerima dogma/agama yang menggambarkan itu ada ditangan pada diri manusia masing-masing.
-          Pandangan-pandangan yang bercorak substansialistis dan metode pendekatan ilmiah secara deduktif, dikalahkan oleh metode-metode induktif dan empiris untuk menemukan kebenaran-kebenaran individual.
d.      Timbulnya rasa kebanggaan terhadap harta dan derajad manusia. Gejala ini menunjukkan manifestasinya kepada kepercayaan diri bahwa manusia dengan kebebasan, dengan nilai individualis yang optimal dengan kemampuan ilmiahnya. merasa mampu untuk menguasai alam semesta ini.

Jaman Modern ditandai dengan munculnya rasionalisme Rene Descartes (1596 – 1650 ), B. Spinoza (1632 – 1677) dan G. Libniz (1646 – 1716). Mereka menekankan pentingnya rasio atau akal budi manusia.

Pada abad ke 18 terkenal dengan jaman Pencerahan, Einlighment atau Aufklarung dengan munculnya tokoh-tokoh empirisme. Istilah empirisme berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti ‘pengalaman inderawi’. Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan dan yang dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja.

Tokoh-tokoh empirisme itu antara lain di Inggris John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1684 – 1753) dan David Hume (1711 – 1776) di Perancis, Jean Jacues Rousseau (1712 – 1778) dan di Jerman, Kritisisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724 – 1804). Selain itu ditandai pula munculnya aliran idealisme seperti J. Fichte (1762 – 1814), F. Schelling (1775 – 1854) dan G. W. Hegel (1770 – 1831).

     Masa Kini.

Masa Kini dimulai pada abad 19 dan 20 dengan timbulnya berbagai aliran yang berpengaruh seperti : Positivisme, Marxisme, Eksistensialisme, Pragmatisme, Neo Kantianisme, Neo Tomisme dan Fenomenologi. Aliran-aliran ini sangat terikat oleh keadaan negara maupun lingkungan bahasa, sehingga dalam perkembangan terakhir lahirlah filsafat analitis yang lahir sejak tahun 1950. 



Positivisme.

Positivisme mulai pada filsuf August Comte (1798 – 1857). A. Comte (sosiolog pertama) menyatakan bahwa pemikiran setiap manusia, pemikiran setiap ilmu dan pemikiran suku bangsa manusia pada umumnya melewati tiga tahap, yaitu :

-          Tahap teologis.
-          Tahap metafisis dan
-          Tahap ‘positif-ilmiah

Dalam tahap teologis manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk insani yang biasa. Tahap teologis ini sendiri dapat dibagikan lagi atas tiga periode. Pada taraf  paling primitif benda-benda sendiri dianggap berjiwa (animisme). Pada taraf berikutnya manusia percaya pada dewa-dewa yang masing-masing menguasai  suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar dan sebagainya (politeisme). Dan pada taraf lebih tinggi lagi manusia memandang satu Allah sebagai penguasa segala sesuatu  (monoteisme).

Dalam tahap metafisis, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”. Metafisika  dijunjung tinggi dalam tahap ini.

Akhirnya dalam tahap positif sudah tidak diusahakan lagi untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Dalam tahap positif ini manusia membatasi diri pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi  dan dengan menggunakan rasionya ia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Baru dalam tahap terakhir ini dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.

Dalam abad ke dua puluh positivisme diperbaharui dalam neo-positivisme, suatu aliran yang  asalnya di Wina. Oleh karena itu filsuf-filsuf dari aliran ini disebut anggota-anggota dari ‘lingkaran Wina’



Marxisme.

Pemikiran  Karl Marx ditunjukkan dengan materialisme dialektis dan materialisme historis.

Dalam ajaran mengenai ‘materialisme dialektis’ bahwa kenyataan kita akhirnya hanya terdiri dari materi yang berkembang melalui suatu proses dialektis (tesa – antitesa – sintesa). Salah satu prinsip materialisme dialektis ialah bahwa perubahan dalam hal kuantitas dapat mengakibatkan perubahan dalam hal kualitas. Itu berarti bahwa suatu kejadian pada taraf kuantitatif dapat menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru. Dengan cara itulah kehidupan berasal dari materi mati dan kesadaran manusiawi berasal dari kehidupan organis.

Proses dialektik sendiri sebenarnya adalah pemikiran Hegel dipakai juga oleh Karl Marx. Pemikiran Hegel mengenai proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Ada suatu fase pertama (tesis) yang menampilkan lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Akhirnya timbullah fase ketiga yang memperdamaikan fase pertama dan kedua (sintesis). Dalam sistesis itu tesis dan antitesis menjadi “aufgehoben”, kata Hegel. Kata Jerman ini mempunyai lebih dari satu arti dan Hegel memaksudkan semua arti itu. Disatu pihak “aufgehoben” berarti : dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi. Dan itu memang dimaksudkan : karena adanya sintesis, maka tesis dan antitesis sudah tidak ada lagi; sudah lewat. Tetapi di lain pihak kata tersebut berarti juga : diangkat, dibawa kepada taraf lebih tinggi. Dan itu juga dimaksudkan Hegel : dalam sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat kepada tingkatan baru.  Dengan perkataan lain, dalam sintesis baik tesis maupun antitesis mendapat eksistensi baru. Atau dengan perkataan lain lagi, kebenaran yang terkandung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk lebih sempurna. Dan proses ini akan berlangsung terus. Sintesis yang dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya dapat diperdamaikan menjadi sintesis baru. 

Pada ajaran “materialisme historis”, pikiran dasarnya adalah bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan atau dideterminir oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang materiil. Misalnya kalau kita memilih pengolahan tanah, maka perkembangan sarana-sarana produksi adalah pacul, bajak, mesin, dsb. Biarpun sarana-sarana produksi sendiri merupakan buah hasil pekerjaan manusia, namun arah sejarah tidak tergantung dari kehendak manusia. Menurut pendapat Karl Marx manusia sungguhpun mengadakan sejarahnya, tetapi ia tidak bebas dalam mengadakan sejarahnya. Sebagaimana juga materi sendiri, sejarah pun dideterminir secara dialektis bukan secara mekanistis.

Kemanakah arah perkembangan sejarah? Karl Marx berkeyakinan bahwa sejarah manusia menuju ke suatu keadaan ekonomis tertentu, yaitu komunisme, dimana milik pribadi akan diganti dengan milik bersama. Perkembangan menuju fase sejarah ini akan berlangsung secara mutlak dan tidak mungkin dihindarkan. Tetapi manusia dapat mempercepat proses ini dengan menjadi lebih sadar dan dengan aksi-aksi revolusioner yang berdasar atas penyadaran itu. 


Eksistensialisme.

Eksistensialisme dipersiapkan dalam abad ke 19 oleh S. Kierkegaard (1813 – 1855) dan F. Nietsche (1844 – 1900). Dalam abad 20 eksistensialisme menjadi aliran filsafat yang sangat penting. Fisluf-filsuf paling besar dari eksistensialisme : K. Jaspers, M. Heidegger, J.P. Sartre, G. Marcel dan Merleau Ponty.

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda “berada”, sedang manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.

Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan : manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.

Bereksistensi oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (disana) dan sein (berada), sehingga kata ini berarti berada di sana, yaitu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri di tengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya itu.

Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat tehnis, yang terjelma dalam bermacam-macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain.  Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem-sistem itu dapat dicap sebagai eksistensialisme. Ciri yang dimiliki bersama itu diantaranya menurut Harun Hadiwijono (1990) adalah :

1.    Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistis.
2.    Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3.    Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4.    Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan. 

Fenomenologi.

Metode fenomenologi berasal dari E. Husserl (1859 – 1938) dan kemudian diperkembangkan oleh antara lain M. Scheler (1874 – 1928) dan M. Merleau Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi.

Kata “fenomenologi” berasal dari kata Yunani fenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang di dalam bahasa Indonesia disebut “gejala”. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau gejala sesuatu yang menampakkan diri.

Kata fenomenon (disingkat : fenomen) atau gejala dapat dipakai dalam bermacam-macam arti. Kata fenomen atau gejala dapat dipertentangkan dengan “kenyataan”. Fenomen bukanlah hal yang nyata, tetapi hal  yang semu. Demikianlah kata fenomen dapat berarti “semu”. Kecuali itu kata fenomen dapat dipakai sebagai lawan “bendanya sendiri”, sehingga fenomen atau gejala berarti “penampakan”

Didalam filsafat fenomenologi ketiga arti fenomen itu tidak dipakai. Menurut para filsuf pengikut fenomenologi suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa melewati indera. Juga fenomen tidak perlu suatu peristiwa. Jadi fenomen bisa diartikan apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri.
Fenomenologi, psikologi yang hanya ingin mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejal-gejala. Husserl berkata ‘kembali ke benda-benda sendiri’. Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk ‘berbicara’.

Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat’ gejala-gejala.
Tiga jenis ‘reduksi’

Reduksi-reduksi ini menyingkirkan semua hal yang menganggu kalau kita ingin mencapai Wesenchau:

  1. menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus ‘diajak berbicara’. Reduksi Eidetis., yakni ‘menunda dalam tanda kurung’ sifat-sifat yang aksidental  atau eksistensial dari obyek. Perhatian kita sepenuhnya diarahkan hanya pada esensinya, eidos-nya atau hakikatnya.
  2. menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki yang diperoleh dari sumber lain, semua teori dan hipotesis yang sudah ada.  Reduksi Fenomenologis.
  3. menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara, dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, dapat menjadi ‘fenomin’. Reduksi Transendental.

Pragmatisme.

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 1900. Tokoh-tokoh terpenting dari pragmatisme : W. James (1842 – 1920) dan J. Dewey (1859 – 1914). Pragmatisme mengajarkan bahwa ide-ide tidak ‘benar’ atau ‘salah’ melainkan bahwa ide-ide dijadikan benar oleh suatu tindakan tertentu.

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.

Neo-Kantianisme dan Neo-tomisme.

Neo-Kantianisme  berkembang terutama di Jerman. Filsafat dalam aliran ini dianggap sebagai epistemologi dan kritik ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh terpenting dari neo-kantianisme itu E. Cassirer (1874 – 1945), H. Rickert (1863 – 1936) , H. Vaihinger (1852 – 1933). Neo-tomisme berkembang di dunia katolik di banyak negara di Eropa dan di Amerika.



Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar