Sejarah Filsafat Barat |
Lahirnya Filsafat di Yunani.
Lahirnya filsafat di Yunani diperkirakan pada abad ke 6 Sebelum Masehi. Timbulnya filsafat di tempat itu disebut suatu peristiwa ajaib (the Greek Miracle). Ada bebepara faktor yang sudah mendahului dan seakan-akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. K. Bertens menyebutkan ada tiga faktor yaitu :
1. Pada bangsa Yunani, seperti juga pada bangsa-bangsa sekitarnya, terdapat suatu mitologi yang kaya serta luas.Mitologi ini dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat, karena mite-mite sudah merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang hidup dalam hati manusia: dari mana dunia kita? Dari mana kejadian-kejadian dalam alam? Apa sebab matahari terbit, lalu terbenam lagi? Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta sendiri biasanya disebut mite kosmogonis, sedangkan mite macam kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian-kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis.Yang khusus pada bangsa Yunani ialah bahwa mereka mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceritakan oeh rakyat menjadi suatu keseluruhan yang sistematis. Dalam usaha-usaha itu sudah tampaklah sifat rasional bangsa Yunani. Karena dengan mencari suatu keseluruhan yang sistematis, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain.
2. Kesusasteraan Yunani.
Kedua karya puisi Homeros yang masing-masing berjudul Ilias dan Odyssea mempunyai kedudukan istimewa dalam kesusteraan Yunani. Syair-syair dalam karya tersebut lama sekali digunakan sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Dalam dialog yang bernama Politeia, Plato mengatakan Homeros telah mendidik seluruh Hellas. Karena puisi Homeros pun sangat digemari oleh rakyat untuk mengisi waktu terluang dan serentak juga mempunyai nilai edukatif.
3. Pengaruh ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah terdapat di Timur Kuno. Orang Yunani tentu berutang budi kepada bangsa-bangsa lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan dari mereka. Demikianlah ilmu ukur dan ilmu hitung sebagian berasal dari Mesir. Dan Babylonia pasti ada pengaruhya dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Namun andil dari bangsa-bangsa lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan Yunani tidak boleh dilebih-lebihkan. Orang Yunani telah mengolah unsur-unsur tadi atas cara yang tidak pernah disangka-sangka oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Baru pada bangsa Yunani ilmu pengetahuan mendapat corak yang sungguh-sungguh ilmiah.
Pada abad ke 6 Sebelum Masehi mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Pada Abad keenam sebelum Masehi, muncul di Yunani pemikir-pemikir dengan semangat baru, yang mulai menggunakan logos (akal budi, rasio) untuk mendekati persoalan-persoalan dalam alam semesta. Pergulatan antara kecenderungan mitis, misalnya bahwa pelangi adalah dewi yang bertugas selaku utusan dewa-dewa lain lawan kecenderungan logis, terjadi dalam keterangan seorang filsuf generasi pertama Xenophanes, yang menyebut pelangi sebagai awan. Satu abad kemudian Anaxagoras telah mengetahui bahwa pelangi terjadi dari pantulan cahaya matahari dalam awan-awan, perlahan-lahan menumbuhkan kesadaran filsafat. Perbedaan penting antara kecenderungan mitis dengan kecenderungan rasional terdapat pada sifat peristiwa-peristiwa mitis yang tidak dapat diperiksa kebenarannya, sedangkan peristiwa rasional, dapat ditelusuri oleh siapa saja, sehingga terbuka kemungkinan untuk memperdebatkan hasilnya secara leluasa dan untuk umum.
Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang problem-problem yang diajukan oleh alam semesta. Logos (akal budi, rasio) mengganti mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan.
Peranan Filsafat.
Pendobrak
Berabad-abad lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan. Dalam penjara itu, manusia terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos dan mite. Manusia menerima begitu saja segala penuturan dongeng dan takhayul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Orang beranggapan bahwa karena segala dongeng dan takhayul itu merupakan bagian yang hakiki dari warisan tradisi nenek moyang, sedang tradisi itu benar dan tak dapat diganggu-gugat, maka dongeng dan takhayul itu pasti benar dan tak boleh diganggu-gugat.
Oleh sebab itu, orang-orang Yunani, yang dikatakan memiliki “suatu rasionalitas yang luar biasa”, juga pernah percaya kepada dewa-dewi yang duduk di meja perjamuan di Olympus sambil menggoncangkan kahyangan dengan sorakan dan gelak tawa tak henti-hentinya. Mereka percaya kepada dewa-dewi yang saling menipu satu sama lain, licik, sering memberontak dan kadang kala seperti anak-anak nakal.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama. Kehadiran filsafat telah mendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok tradisi yang begitu sakral dan selama itu tak boleh diganggu-gugat. Kendati pendobrakan itu membutuhkan waktu yang cukup panjang, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak yang mencengangkan.
Pembebas
Filsafat bukan sekedar mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos dan mite itu, melainkan juga merenggut manusia keluar dari dalam penjara itu. Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohannya. Demikian pula, filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir mistis dan mitis.
Sesungguhnya, filsafat telah, sedang dan akan terus berupaya membebaskan manusia dari kurangnya pengetahuan yang menyebabkan manusia menjadi picik dan dangkal. Filsafat pun membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih. Filsafat juga membebaskan manusia dari cara berpikir tidak kritis yang membuat manusia mudah menerima kebenaran-kebenaran semu yang menyesatkan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat membebaskan manusia dari segala jenis “penjara” yang mempersempit ruang gerak akal budi manusia.
Pembimbing
Bagaimanakah filsafat dapat membebaskan manusia dari segala jenis “penjara” yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi manusia itu? Sesungguhnya, filsafat hanya sanggup melaksanakan perannya bagai pembimbing.
Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang mistis dan mitis dengan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan membimbing manusia untuk berpikir secara luas dan lebih mendalam, yakni berpikir secara universal sambil berupaya mencapai radix (mendalam) dan menemukan esensi suatu permasalahan. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih dengan membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan logis. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tak utuh dan begitu fragmentaris dengan membimbing manusia untuk berpikir secara integral dan koheren.
B. Periodisasi Filsafat Barat.
Sejarah filsafat Barat dibagi dalam empat periode yaitu:
1. Jaman Filsafat Yunani Kuno (600– 400 SM)
A. Pra Sokrates.
B. Jaman Keemasan Filsafat Yunani Kuno.
C. Masa Helinistis dan Romawi
Pada masa ini muncul beberapa aliran: Stoisisme, Epikurisme, Skeptisisme, Eklektisisme, Neo Platonisme.
2. Jaman Abad Pertengahan
Abad Pertengahan mengalami dua periode : Periode Patristik, Periode Skolastik.
3. Jaman Modern
Jaman modern dimulai dengan masa renaissance yang berarti kelaiharn kembali, yaitu usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani-Romawi). Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu ‘antroposentrisme’nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti Jaman Kuno, atau Tuhan seperti Abad Pertengahan, melainkan manusia. Mulai jaman modern inilah manusia yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
4. Masa Kini/Post modernisme/ Kontemporer
Masa Kini dimulai pada abad 19 dan 20 dengan timbulnya berbagai aliran yang berpengaruh seperti : Positivisme, Marxisme, Eksistensialisme, Pragmatisme, Neo Kantianisme, Neo Tomisme dan Fenomenologi.
Jaman Filsafat Yunani Kuno (600 SM – 400 SM)
Jaman Kuno meliputi jaman filsafat pra-sokrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama filsuf-filsuf pertama atau filsuf alam. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap asal dari segala sesuatu. Menurut Thales arche itu air, Anaximandros berpendapat arche itu ‘yang tak terbatas’ (to apeiron). Anaximenes arche itu udara, Pythagoras arche itu bilangan, Heraklitos arche itu api, ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu terus mengalir (panta rhei). Parmenedes mengatakan bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak.
Jaman Keemasan Filsafat Yunani
Pada waktu Athena dipimpin oleh Perikles kegiatan politik dan filsafat dapat berkembang dengan baik. Ada segolongan kaum yang pandai berpidato (rethorika) dinamakan sebagai kaum sofis. Kegiatan mereka adalah mengajarkan pengetahuan pada kaum muda.
Yang menjadi obyek penyelidikannya bukan lagi alam tetapi manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Prothagoras, ‘Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya’. Hal ini ditentang oleh Sokrates dengan mengatakan ‘bahwa yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai obyektif yang dijunjung tinggi oleh semua orang’. Akibat ucapannya tersebut Sokrates dihukum mati.
Hasil pemikiran Sokrates dapat diketemukan pada muridnya Plato. Dalam filsafatnya Plato mengatakan : realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang hanya terbuka bagi panca indera dan dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua dunia ide.
Pendapat tersebut dikritik oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkrit. ‘Ide manusia’ tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles adalah filsuf realis, dan sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Sumbangan yang sampai sekarang masih digunakan dalam ilmu pengetahuan adalah mengenai abstraksi, yakni aktivitas rasional di mana seseorang memperoleh pengetahuan. Menurut Aristoteles ada tiga macam abstraksi yakni abstraksi fisis, abstraksi matematis, dan metafisis.
Abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas adalah abstraksi fisis. Sedangkan abstraksi di mana subyek menangkap unsur kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif disebut abstraksi matematis. Abstraksi di mana seseorang menangkap unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-unsur lain disebut abstraksi metafisis.
Teori Aristoteles yang cukup terkenal adalah tentang materi dan bentuk. Keduanya ini merupakan prinsip-prinsip metafisis, materi adalah prinsip yang tidak ditentukan, sedangkan bentuk adalah prinsip yang menentukan. Teori ini terkenal dengan sebutan ‘Hylemorfisme’.
Masa Helinistis dan Romawi.
Pada jaman Alexander Agung telah berkembang sebuah kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan Hellinistis, karena kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani saja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander Agung. Dalam bidang filsafat, Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexandria. Jika akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke wilayah Yunani, itu tidak berarti kesudahan kebudayaan dan filsafat Yunani, karena kekaisaran Romawi pun pintu dibuka lebar untuk menerima warisan kultural Yunani.
Dalam bidang filsafat tetap berkembang namun pada saat itu tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus.
Pada masa ini muncul beberapa aliran :
1. Stoisisme.
Menurut paham ini jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut ‘Logos’. Oleh karenanya segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tak dapat dihindari.
2. Epikurisme.
Segala-galanya terdiri dari atom-atom yang senantiasa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa.
3. Skeptisisme.
Mereka berpikir bahwa bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran. Sikap umum mereka adalah kesangsian.
4. Eklektisisme.
Suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur, filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh.
5. Neo Platonisme.
Yakni paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato. Tokohnya adalah Plotinus. Seluruh filsafatnya berkisar pada Allah sebagai ‘yang satu’. Segala sesuatu berasal dari ‘yang satu’ dan ingin kembali kepadanya.
0 komentar:
Posting Komentar